Senin, 22 Juni 2009

GARUDA DI DADAKU


PRODUSER: Shanty Harmayn, SUTRADARA: Ifa Isfansyah, PENULIS SKENARIO: Salman Aristo, PEMAIN: Emir Mahira, Aldo Tansani, Marsha Aruan, Maudi Koesnaedi, Ikranagara, Ari Sihasale, dan Ramzi.


Film yang menginspirasi, memberi ruang pada kita untuk bercermin dan memaknai hidup dari sudut pandang anak-anak. Wajib ditonton, tak hanya bagi anak-anak, tetapi juga mereka yang dewasa.

Impian itu datang dari Bayu (Emir Mahira), seorang bocah kelas VI SD yang bermimpi menjadi anggota tim nasional sepak bola U-13 tahun. Dalam benaknya, betapa bangganya ia, ibu, dan kakeknya, ketika melihatnya menjadi wakil dari jutaan anak Indonesia berlaga di arena sepak bola sambil mengenakan kaus berlambang garuda di dadanya. Adakah mimpinya itu bisa terbeli?

Sayang! Keinginannya itu justru berbanding terbalik dengan ambisi sang kakek, Usman (Ikranagara). Bagi Usman, kelak, cucunya harus menjadi seorang seniman bergengsi. Sepak bola bukanlah tempat yang layak buat cucunya. Ia lantas memasukkan Bayu ke sejumlah kegiatan les, yang diyakininya cocok buat cucu kesayangannya itu. Dari mulai les musiklah, hingga melukis.

Namun begitulah, apa pun yang dilakukan tanpa didasari cinta, hanyalah sebuah ilusi. Cinta mati Bayu justru pada sepak bola. Sebuah dunia yang diperkenalkan mendiang ayahnya, saat ia masih hidup.

Namun, Usman tak mau itu terjadi. Haram bagi cucunya untuk mencintai sepak bola. Dunia, yang menurut Usman, terasa hina. Di Indonesia, sepak bola bukanlah tempat yang bisa memberikan janji. "Pemain bola itu tidak bermutu. Tidak elite. Apalagi di Indonesia, jadi penonton saja bisa mati!" seru Usman kepada cucunya. "Sekali lagi kamu ngomong bola, kamu bukan cucu aku lagi!" ancamnya saat Usman mengetahui cucunya bersinggungan lagi dengan bola.

Konflik inilah yang kemudian meluncur apik. Terjaga dari awal hingga ujung kisah. Ya, Bayu bukanlah tipe anak loyo, yang gampang menyerah. Keinginan besarnya telah meruntuhkan ambisi sang kakek. Di hadapan sang kakek, ia bak anak yang penurut, tapi di balik itu, ia justru melakukan sebuah pemberontakan.

Adalah Heri (Aldo Tansani), sahabatnya, yang meyakini bakat kuat yang dimiliki Bayu. Heri-lah yang mendorong Bayu untuk "berselingkuh" dari kegiatan les yang dijalaninya. Heri jugalah yang setia memfasilitasi semua kebutuhan Bayu untuk mencapai mimpinya.

Beralih sejenak kepada sosok Heri. Kehadirannya juga menjadi bagian yang menarik dan tak bisa dianggap enteng. Penulis skenario Salman Aristo memberi porsi lebih kepada sosoknya. Heri digambarkan sebagai anak yang unik. Dia cerdas, punya semangat yang tinggi dan motivator ulung meski memiliki keterbatasan fisik. Bersama Bayu, ia menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Bagi Heri, kecintaannya pada dunia sepak bola tak bisa terlampiaskan lantaran kakinya lumpuh. Namun, dari sosok Bayulah, ia melihat kekuatan itu. Klop! Inilah sebuah kisah persahabatan yang manis. Mereka saling mengisi meski datang dari latar belakang yang berbeda pula.

Pada akhirnya, menyaksikan film layar lebar perdana sutradara Ifa Isfansyah, kita digiring kembali untuk memaknai sejumlah nilai-nilai hidup, yang boleh jadi, telah dilupakan oleh kebanyakan orang, tak terkecuali saya, juga anda.

Sosok Usman, yang cenderung bersikap kolot dan cenderung memaksakan kehendaknya kepada cucunya, menjadi gambaran dari diri kita, yang kadang menuntut banyak dari anak-anak. Atas nama kebaikan, orang tua kerap memaksakan kehendaknya sendiri. Ia lupa bahwa anak-anak juga punya kehidupan sendiri, yang berhak untuk bisa memilih.

Ini pula yang berlaku kepada sosok Zahra (Marsha Aruan), bocah perempuan yang misterius. Ia terjebak di antara kehidupan keluarga yang berantakan. Ia dibawa kabur ayahnya dan memilih menetap di sebuah gubuk reyot di sebuah kawasan kuburan tua. Padahal Zahra masih punya mimpi untuk bisa sekolah. Meski begitu ia tetap tabah.

Garuda Di Dadaku, menyajikan sebuah cerita yang sederhana namun bernas. Mengisahkan pertarungan dua kepentingan antara dua generasi. Olahraga sepakbola, menjadi cantolan untuk mengaitkan tema besar tersebut. Diramu dengan begitu apik. Didukung permainan yang gemilang, plot cerita yang matang, cinematografi dan editing yang terjaga. Hasilnya? Garuda Di Dadaku tak ubahnya sebuah masakan yang racikan bumbunya terasa pas. Ada haru, kadang juga tawa. Pada bagian ini, apresiasi, lagi-lagi layak diberikan kepada Ramzi, yang kali ini berperan sebagai Bang Duloh.

Suntikan kekuatan juga datang dari soundtrack film, yang begitu penuh warna dihadirkan pasangan suami istri penata musik Aksan Sjuman dan Titi Sjuman. Music Score yang mereka hadirkan membawa penontonnya pada suasana batin yang riuh. Hal ini makin terasa dihadirkan lewat agu Garuda Di Dadaku, yang notasinya mengambil lagu daerah asal Papua, Apuse, yang diaransemen dan dibawakan grup rock Netral. Ia berhasil membangun suasana yang terasa bergelora mengiringi semangat Bayu dalam menggapai mimpinya.

Syukurlah, setelah Laskar Pelangi, kini hadir tontonan bioskop yang memang layak disimak anak-anak Indonesia.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda